Thursday, December 6, 2007

GAUKENG

Gaukeng: Poret Religiositas KOMUNITAS UJUNG
Komunitas Ujung. Demikian orang biasa menyebut sekelompok masyarakat yang tinggal di Desa Ujung, Kecamatan Duaboccoe, Kabupaten Bone ini. Sepintas orang tak menemukan sesuatu yang spesifik dari komunitas ini. Orang jarang yang menaruh perhatian, tidak saja karena letak komunitas ini yang cukup jauh dari kota Bone (sekitar 30 kilometer), namun juga karena kondisi alamnya yang kurang bersahabat. Di musim kemarau kawasan ini merupakan area gersang, sementara jika musim penghujan tiba, banjir besar pun paling sering melanda.

Namun sesunguhnya ada satu kehidupan sosial keagamaan yang sangat menarik di desa ini. Meski secara formal mereka penganut Islam, namun sesungguhnya praktek ke-Islaman yang mereka lakukan adalah wajah Islam yang berdialog dengan tradisi yang mereka miliki. Sambil tetap menjalankan ajaran Islam seperti shalat dan puasa, namun komunitas ini memiliki keyakinan terhadap sosok pelindung yang bernama Gaukeng.



Gaukeng

Sampai saat ini masyarakat Ujung adalah penganut Islam yang taat. Meski demikian mereka memiliki keyakinan yang kuat terhadap Gaukeng (saukang; bahasa makassar). Begitu pentingnya kepercayan terhadap sosok Gaukeng, sehingga Leonard Y. Andaya, seorang peneliti Belanda mengatakan Gaukeng merupakan faktor terpenting dalam pembentukan komunitas ini. Gaukaeng dipercayai sebagai makluk halus penjaga negeri atau komunitas tertentu. Keberadaannya bisa tampak dalam berbagai bentuk seperti Batu, pohon, biji buah yang telah kering dan sebagainya.

Keberadaan Gaukeng inilah yang dijaga oleh warga anggota komunitas Ujung. Gaukeng dihormati dan diberi sesaji agar mereka tetap betah tinggal di daerah komunitas tertentu. Sebab apabila Gaukeng ini meninggalkan satu tempat atau komunitas maka itu adalah pertanda buruk dan malapetaka bagi komunitas yang ditinggalkannya. Salah seorang tokoh masyarakat Dg Ratte mengatakan, Gaukeng adalah pujaan yang selalu diagung-agungkan oleh masyarakat.

Salah seorang sanro di desa Ujung Hajjah Maiseng menceritakan bahwa asal mula munculnya Gaukeng di Ujung berawal dari munculnya makhluk buas yang memangsa manusia. Hampir saja seluruh penduduk Ujung musnah dimangsa makhluk tersebut. Namun akhirnya muncul penyelamat yang memusnahkan makhluk tersebut. Penyelamat itu tak pernah kelihatan wujudnya. Hanya suaranya saja yang terdengar yaitu teriakan “A....I.....U.....”. Suara itu berasal dari satu tempat dimana sosok yang sekarang disebut Gaukeng itu berada.

Cerita senada juga dituturkan oleh Marjuni, seorang Sanro Calabai dari komunitas Ujung juga. Menurutnya, di Ujung banyak sekali Gaukeng. Paling tidak ada tiga Gaukeng yang dia ketahui, yaitu yang tinggal di Tellangnge, Masigi dan di Pammanatanae. Menurut Marjuni banyaknya Gaukeng di tempat ini karena memang Ujung adalah daerah yang bersejarah. Di sinilah semua arajang saudara sawerigading terdapat, yaitu Lapallawagau, Lamagalattung, Lamssaguni, Lawijo Langi, Datu Pammusu, La Koddo dan Lewang Riwu, Tenri Abeng dan juga saudara sepupu mereka We Cudai. ?Karena itulah pada saat ada perayaan di daerah ini harus memotong tiga ekor kerbau sebagai persembahan, bukan satu sebagaimana yang lazim di daerah lain,? ujar Marjuni.



Islam politik

Islam memang bukan ajaran yang baru bagi komunitas Ujung. Dalam sejarahnya, Islam telah masuk di daerah ini sekitar tahun 1611 Masehi, hampir bersamaan dengan keberhasilan Gowa mengislamkan Bone, setelah melalui peperangan yang dikenal dengan Musu Assellengngeng (Perang Peng-Islaman).

Bone sendiri diperkirakan memeluk agama Islam tanggal 23 November 1611 M. Saat itu yang menjabat sebagai raja Bone adalah La Tenri Pale yang kemudian bergelar Sultan Abdullah. Proses perang yang meskipun disebut dengan Musu Assellengngeng, oleh banyak kalangan dianggap tidak semata-mata menjadi bagian dari proses penyebaran Islam. Seperti diakui oleh Guru Besar Unhas Prof Abu Hamid maupun Prof Matulada, peperangan yang dilakukan oleh Gowa untuk menyebarkan Islam lebih banyak dilandasi dengan persoalan politik.

Mungkin karena terlalu bercorak politik kekuasaan inilah Islam kurang mendapatkan tempat di hati masyarakat pedalaman, termasuk komunitas Ujung ini. Seperti diketahui saat itu Gowa, yang menganut Islam sebagai agama resmi, dikenal sebagai kerajaan yang kuat dan mampu menaklukan daerah-daerah lain. Raja Gowa merasa punya alasan untuk meyerang kerajaan Bone karena saat itu Bone menolak Islam yang disampaikan oleh kerajaan Gowa. Padahal mereka sebelumnya telah mengikat satu perjanjian yang menyatakan bahwa siapa yang menemukan jalan kebenaran terlebih dahulu, maka ia harus memberitahukan kepada yang lainnya. Bone sendiri tak mau menerima Islam karena kerajaan Bone beranggapan ini hanya bagian dari politik kekuasaan Gowa.

Konflik antara kedua kerajaan ini berlangsung secara berlarut-larut. Hingga satu ketika pada tahun 1611 M, salah seorang raja Bone yaitu La Tenri Ruwa Matinroe ri Sidenreng (Raja ke-11 Bone) menyatakan menerima Islam. Meski demikian masyarakat Bone tetap tidak bisa menerima kenyataan ini. Bahkan sang raja lalu dipecat. Kerajaan Bone lalu mencari penggantinya yaitu La Tenri Pale yang dianggap bisa menolak proses Islamisasi yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa ini.

Hingga beberapa tahun kemudian ketika pada akhirnya Kerajaan Bone berhasil ditaklukan dan kerajaan secara resmi memeluk Islam, masyarakat Bone tetap mempertahankan tradisi yang mereka miliki. Sebab bagi mereka saat itu Islam hanyalah alat kekuasaan dan bukan sebagai satu sistem nilai baik Ketuhanan maupun kemanusiaan. Bahkan ketika raja La Maddaremmeng (1625-1640) naik tahta dan memaksakan Islam kepada masyarakat dengan memasukkan unsur Islam ke dalam struktur kerajaan yaitu dengan adanya Qadhi, masyarakat tetap saja menjalankan tradisi dan keyakinan yang mereka miliki.

Jadi meski Islam secara formal harus mereka terima namun dalam prakteknya ke-Islaman yang mereka praktikkan adalah Islam yang bercorak lain, yaitu Islam yang bercorak tradisi. Sampai sekarang cara beragama itu masih kerap kita temui di Kabupaten Bone. Komunitas Ujung inilah salah satu contohnya, Islam tetapi sangat meyakini adanya Gaukeng.

Model beragama yang seperti ini tidaklah mampu dijalankan secara mulus oleh warga Ujung. Dalam sejarahnya bayak dari mereka yang ditangkap dan dibunuh, khususnya oleh gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar. Salah satu sanro penghulu adat di kampung itu yaitu Sanro Magangka mati dibunuh. Benda-benda ritual mereka banyak yang dibakar, sebagian ada yang diambil.

Pada tahun 2000 ketika muncul kelompok massa yang bertujuan menumpas kejahatan dan menegakkan syariat di Bone, maka komunitas Ujung ini adalah salah satu kelompok yang terancam keberadaannya. Saat itu muncul isu bahwa mereka akan dihabisi oleh kelompok massa yang menamakan dirinya Forbes (Forum Bersama). Mungkin karena ingin selamat, beberapa pemimpin adat dan sanro saat itu termasuk Marjuni, terpaksa memilih bergabung dengan Forbes.

Kini meski kondisi mulai aman, proses stigmatisasi terhadap komunitas ini tak kunjung usai. Mereka sering dicap musyrik dan khurafat. Toh demikian situasi ini tak menyurutkan semangat mereka untuk mempertahankan dan menjalankan tradisi yang mereka miliki. Sampai saat ini masyarakat masih rajin mengunjungi addewatangge (tempat persembahan), dan rajin menggelar acara mattojang (berayun; acara syukuran adat setelah panen padi).

Terhadap mereka yang mempersoalkan tradisi mereka, Komunitas Ujung selalu mengatakan bahwa apa yang dilakukannya hanyalah ingin mewujudkan rasa kesyukuran mereka kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan sebagai bentuk kehambaan mereka kepada allah SWT. ?Kita ini juga sungguh-sungguh Islam, yang kita sembah juga Allah SWT. Cuma coraknya mungkin berbeda dengan yang lain,? ujar Hajjah Maiseng.(jal/mif)

No comments: